Ekonomi China menurun, melambat dari 10.6% pada 2010 menjadi 2.3% di 2020 karena Pandemi Covid-19. Melonjak 8,1% pada 2021, menurut Bank Dunia di prediksi melambat lagi menjadi 2.8% pada tahun ini. Jauh di bawah target pemerintah mereka, 5,5%.
Pemerintah China menunda publikasi data pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2022, sehari sebelum jadwal perilisan.
Clifford Bennett, Kepala Ekonom di ACY Securities, meyakini penundaan tersebut berkaitan dengan buruknya data perekonomian China.
“Perkiraan saya adalah ekonomi china menurun sebesar 1,2 persen (secara kuartalan untuk PDB China). Ini berarti China telah bergabung dengan AS dalam resesi teknis,” begitu katanya.
Ekonom yang disurvei oleh Reuters memperkirakan PDB China akan meningkat sebesar 3,4 persen pada kuartal ketiga dari tahun sebelumnya.
“Setiap kali rilis terjadi, kita semua harus bersiap untuk beberapa reaksi pasar keuangan global jika dua ekonomi terbesar dunia sama-sama mengalami resesi tahun ini,” katanya.
Baca juga: Subsidi Mobil Listrik dan Hybrid Beserta Daftar Calon Penerima
Asia Masih Lebih Baik
Khususnya Asia Tenggara, ADB menyuntikkan rasa optimis atas baiknya tata kelola pemulihan konsumsi dan pariwisata di Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Meski Asian Development Bank (ADB) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2023, sebenarnya perkembangan kawasan Asia masih tetap lebih baik keadaannya daripada belahan dunia yang lain.
Kemudian pertumbuhan ekonomi wilayah Kaukasus dan Asia Tengah tahun 2022 meningkat jadi 4,8% dari sebelumnya 3,9%.
Sedangkan proyeksi untuk Pasifik naik dari 4,7% menjadi 5,3%, hal ini disebabkan tren positif pemulihan pariwisata di Fiji.
Krisis Properti di China
Salah satu penyebab ekonomi china menurun yang jarang diketahui adalah lockdown yang terus menerus dilakukan di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atau China, bahkan hingga saat ini.
Selain menghambat ekonomi nasional di China, juga berpengaruh terhadap pemulihan kawasan Asia dari pandemi Covid-19 yang sebenarnya sudah lebih baik dari tahun 2021.
Situasi khusus yang terjadi pada RRT adalah pembatasan Covid-19 di bawah kebijakan “zero-Covid” yang dilakukan bersamaan dengan merosotnya pasar properti.
Pelemahan sektor properti menjadi momok mengerikan yang menjadikan ekonomi china menurun. Dikarenakan sektor ini penunjangnya berkontribusi hingga sepertiga terhadap PDB China.
Saat ini, banyak pembeli rumah via Kredit Kepemilikan Rumah tidak mau membayar cicilan sampai dengan rumah selesai di bangun, sehingga mengurangi permintaan impor material barang konstruksi.
Perang Dagang Dengan AS
Melalui pembatasan volume dan tariff ekspor dan impor sangat memukul perekonomian China. Perang dagang yang dimulai zaman Presiden Donald Trump pada 2018 itu mengurangi volume perdagangan dari US$635 miliar pada 2017 menjadi US$558 miliar di 2019.
Meskipun Trump sudah berganti, tetap saja perang masih ada seperti baru-baru ini dengan rencana Presiden Joe Biden melarang ekspor perangkat pembuat chip canggih ke China, karena takut dijiplak teknologinya.
Tagline Buatan China 2025
Pada 2015, pemimpin China yakni Presiden Xi Jinping merilis target ambisius dengan tagline “Buatan China 2025”. Ini adalah peralihan strategi arah ekonomi dari orientasi ekspor menjadi orientasi konsumsi dalam negeri.
Bertujuan menjadikan China sebagai pemimpin dunia dalam bidang teknologi, seperti robot, pesawat terbang hingga kendaraan listrik.
Untuk menjalankan strategi ini, perusahaan di China di dorong oleh pemerintahnya untuk berinvestasi di luar negeri guna meningkatkan kemampuan teknologi.
Juga mendorong produksi komponen dalam negeri, dan memperkecil kran impor barang teknologi. Startegi baru ini, menjadi alasan utama mengapa ekionomi China menurun perlahan sejak 2010.
Dampak Ekonomi China Menurun Ke AS

Perlambatan ekonomi China memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian partner dagang utama mereka, yakni AS. Ia bertransmisi melalui, perdagangan itu sendiri dan pasar utang AS.
Sebagai partner utama, perlambatan ekonomi China akan membuat permintaan ekspor di AS juga melambat, dan sebaliknya. Ini memukul permintaan industri utama AS seperti, pesawat terbang, otomotif, hingga makanan, sehingga menjadikan defisit perdagangan AS semakin besar.
Selain sektor riil, perlambatan ekonomi China juga mempengaruhi pasar obligasi AS, dimana ini mengurangi peluang pemerintah AS untuk dapat menerbitkan utang baru.
China adalah investor kedua terbesar pada surat utang pemerintah AS, dimana perlambatan ekonominya membuat kemampuan atau permintaan terhadap surat utang AS juga turun.
Dampak Ekonomi China Menurun dan Ekonomi AS ke Indonesia
Pertumbuhan ekonomi AS secara teknikal telah memasuki masa resesi pada kuartal II tahun ini dari tumbuh 5.9% pada 2021, dan minus 2.8% pada 2020.
Kombinasi perang Rusia dan Ukraina serta pandemi Covid-19 telah membuat perekonomian dua raksasa ekonomi dunia ini sakit. Ini menjadi masalah besar, bagi negara seperti Indonesia yang bergantung cukup erat dengan keduanya.
China adalah pasar ekspor utama Indonesia dengan nilai pada September lalu mencapai US6,1 miliar atau 26,23% dari total ekspor non migas.
Sementara AS pasar kedua dengan US$2,11 miliar atau 9,01%. Perlambatan ekonomi China, akan sangat berdampak kepada kinerja ekspor Indonesia, karena keduanya adalah sepertiga lebih pasar ekspor Indonesia.
Sementara itu kenaikan tingkat imbal hasil atau yield obligasi pemerintah AS juga akan menambah biaya bunga di Indonesia.
Ini karena pasar obligasi dalam negeri selalu mengikuti pergerakan yield di sana, di mana semakin tinggi yield di AS maka semakin tinggi pula yield obligasi di Indonesia.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan dia lebih khawatir dampak perlambatan China dari pada AS, mengingat besarnya keterkaitan ekonomi Indonesia dengan Negeri Tirai Bambu Ini.