Bisnis Buku Cetak VS Buku Digital

Sejak Ebook mulai tenar sejak 10 tahun lalu, ada persaingan sengit antara bisnis buku cetak vs buku digital. Mari kita simak perkembangan dua model bisnis ini untuk masa depan.

Apakah Anda lebih suka membaca Ebook atau versi fisik? Ini mungkin mengejutkan, tetapi bagi kebanyakan orang, cetakan jadul di atas kertas masih lebih menarik dan menyenangkan.

Meski secara keuntungan dari penerbit mayor atau penerbit besar terus mengalami penurunan, namun optimisme malah muncul dari penerbit indie yang biasanya ada di kabupaten.

Sementara media digital telah mengganggu industri lain seperti penerbitan berita dan bisnis musik. Kita juga menyaksikan bisnis buku cetak vs buku digital.

Namun banyak orang masih suka memiliki buku fisik, utamanya bagi yang tidak tahan membaca serius dari depan layar laptop.

Gelembung penjualan Ebook mulai mendatar, beberapa orang lebih suka objek fisik dari sebuah buku sangat menarik.

Penerbit memproduksi buku-buku yang luar biasa indah, jadi desain sampulnya sering kali indah, itu adalah objek yang indah untuk menghiasi rak ruang tamu Anda.

Sebagian orang suka menampilkan apa yang telah mereka baca, dengan mengunggahnya pada media sosial.

Pencinta buku suka memiliki catatan tentang apa yang telah mereka baca, dan ini tentang memberi informasi pada seluruh dunia.

Beberapa genre yang masih memiliki penggemar adalah novel fiksi, buku pengembangan dan motivasi diri, atau tentang futurologi seperti bukunya Yuval Noah Harari.

Sebagian orang tua kini juga banyak berburu buku anak untuk menjauhkan anak mereka dari bermain ponsel dan hanya menonton Youtube atau bermain Game. Menatap layar berlebihan pada anak tentu akan berdampak buruk pada mata mereka.

Kindle Membuka Jalan Bisnis Ebook

Sudah lebih dari satu dekade sejak Amazon meluncurkan Kindle, namun masih ada juga rasa lapar akan informasi dan keinginan untuk keluar dari layar.

Bisnis Buku Cetak VS Buku Digital

Ini merupakan proses pelarian, tetapi mereka juga mencari informasi yang lebih mendetail dan tidak banyak mendapat ruang dalam laman website.

Matinya kepakaran merupakan salah satu buku yang mengupas tentang dangkalnya informasi yang ada dalam laman website. Sehingga buku ratusan halaman masih jadi opsi untuk mendalami pengetahuan.

Lalu bagaimana dengan Ebook? Meski Kindle dan aneka pembaca Ebook lain menyertakan fitur catatan atau tinta dengan pencahayaan rendah seperti kertas. Namun kita tidak bisa mendapatkan sensasi seperti membaca buku biasa.

Sebagian orang menyalahkan anak muda millennial yang lebih suka membaca Ebook dan membunuh bisnis cetak.

Namun melihat data paling baru dari penjualan buku Indonesia, enam puluh tiga persen dari penjualan buku fisik adalah untuk orang-orang kurang dari 44 tahun.

Sementara 52 persennya yang lebih memilih Ebook merupakan usia 30 hingga 60 tahun.

Ini adalah gambaran serupa di AS, di mana 75% orang berusia 18 hingga 29 tahun mengaku telah membaca buku fisik pada tahun 2017, lebih tinggi dari rata-rata 67%, menurut Pew Research.

Lalu bagaimana dengan masa depan? Menurut salah satu petinggi Gramedia semua format buku akan terus mempunyai segmen peminatnya sendiri.

Orang selalu membutuhkan pengetahuan dan orang selalu membutuhkan cerita, jadi dari sudut pandang itu, industri buku cetak masih punya optimisme untuk berlangsung.

Baca juga : Ini Keuntungan Metaverse Bagi Bisnis Masa Depan

Buku Cetak VS Buku Digital

Hidup dalam masyarakat yang semakin digital, ketika teknologi terus mengancam untuk menggantikan literatur fisik.

Mudah untuk berasumsi bahwa konsep buku sedang dalam perjalanan mencari titik aman kedua. Setelah revolusi mesin cetak Gutenberg mempermudah penyebaran pengetahuan.

Kini revolusi digital membayangi para pengusaha buku cetak dan tentu pihak yang hidup dari buku, misalnya penerjemah, desainer sampul, dan toko buku retail.

Beberapa ahli yang pesimis melihat bahwa buku tidak lebih merupakan benda artefak masa lalu. Setelah seseorang membacanya, kemudian levelnya menurun menjadi relik, monumen kesenangan sementara, atau malah kebosanan.

Kecuali seorang akademisi yang memang selalu membutuhkan referensi atau buku yang menjadi bahan ajar mereka dalam perkuliahan.

Tentu ini sifatnya berbeda, bahkan beberapa buku mungkin akan mendapatkan sakralisasi. Misalnya buku Das Kapital nya Karl Marx atau novel karangan Pramudya Ananta Toer.

Setelah kaset dan kepingan CD hanyalah jadi barang nostalgia karena aplikasi streaming music merajalela, maka semakin melonjak permintaan digitalisasi dalam setiap hal.

Hidup dalam masyarakat yang semakin digital, teknologi terus mengancam untuk menggantikan literatur fisik, mudah untuk berasumsi bahwa konsep buku fisik sedang dalam ujung tanduk.

Logikanya, kemudian, buku yang sederhana ini harus menuju ke kematian yang sama. Tren riset pasar menunjukkan sedikit tanda bahwa penurunan demi penurunan ini benar-benar terjadi.

Menurut Gramedia, total penjualan buku fisik semakin menurun. Hanya pada sat pandemi ketika banyak orang bekerja dari rumah mereka lebih merasa memerlukan buku sebagai teman.

Sehingga tahun 2020 – 2021 malah ada peningkatan jumlah pembelian buku dari Ecommerce dan penerbit independen. Gramedia juga melayani pembelian buku melalui online.

Kita seharusnya tidak kaget dengan uletnya daya saing bisnis buku cetak vs buku digital. Akan selalu ada kemungkinan alasan untuk bertahan hidup pada zaman modern karena sejarah pasti berulang.

Buku Cetak Sebagai Budaya

Jika belajar dari sejarah dunia, manuskrip dan buku cetak paling awal yang ada pada perpustakaan Arts End.

Yaitu bagian dari perpustakaan Duke Humfrey di Bodleian. Buku yang paling populer dan elegan adalah edisi karya Aristoteles. Buku langka yang sudah ada sebelum hari-hari munculnya pencetakan massal.

Sebuah buku yang bukan merupakan buku umum populer yang tidak dibuat sebagai simbol kekayaan dan status sosial.

Bahkan sebagai seorang peminat teori klasik, Aristoteles cenderung tidak menjadi bacaan yang mudah atau sangat menyenangkan.

Jika seseorang memilikinya, maka dia tidak berkenan untuk benar-benar membaca buku tebal mereka secara mendetail.

Alih-alih menampilkan modal budaya kepada orang yang masuk ke ruang tamunya. Hanya sebagai tanda kepemilikan dan perhiasan dalam pengetahuan.

Sifat serupa terlihat hari ini dan tampaknya akan berlanjut bagi masyarakat masa depan kita.

Bahkan setelah kertas, tinta, dan jalur produksi murah telah mengurangi nilai moneter buku-buku saat ini, modal sosial dan budaya mereka tetap tinggi.

Dorong Anak Muda Untuk Membaca!

Perubahan utama dari masa lalu adalah dalam konsumsi kita serta tampilan pembelajaran ini.

Memiliki salinan Homo Deus pada rak Anda sama saja dengan membuka percakapan dengan santai mengenai masa depan manusia. Dengan catatan tamu Anda sudah pernah membacanya.

Sementara mengikuti tren dan inovasi karya sastra populer menciptakan rasa memiliki dalam iklim budaya masyarakat yang terus berkembang. Misalkan Eka Kurniawan, Pidi Baiq atau Tere Liye.

Demikian pula, jejak fisik pengetahuan yang Anda konsumsi dan wawasan yang luas akan menjadi sebuah piala pencapaian dalam sebuah komunitas.

Siapapun yang harus membaca untuk pekerjaan daripada kesenangan karena sedang membuat esai, laporan, atau tesis. Akan menyadari bahwa membaca sebenarnya adalah hobi yang sangat aktif daripada pasif.

Sebuah kesadaran budaya yang kini semakin spesial dan tidak banyak anak muda miliki. Anda membutuhkan tingkat konsentrasi, retensi, dan pemrosesan yang signifikan untuk terlibat dengan dan memahami nuansa sastra, fiksi, dan non-fiksi.

Media sosial membentuk sebuah era kicauan (twitter) yang berujung debat, komunikasi berorientasi gambar, dan rentang perhatian yang semakin singkat.

Penting untuk mendorong anak muda agar semakin giat membaca. Jika tidak maka mereka akan tenggelam dalam segala hal digital dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Buku fisik adalah hal yang bisa membuat mereka untuk menjauh dari layar dan meregangkan pikiran mereka melalui membaca.

Kemudian, tentu saja, untuk menghargai hasil kerja mereka melalui kenang-kenangan dari buku itu sendiri. Dengan catatan kecil atau kepsyen pada media sosial.

Potensi Pembaca Muda

bisnis buku cetak vs buku digital

Ada satu bagian masyarakat yang tidak disebutkan dalam banyak statistik komersial, yang menganggap konsumsi sastra sangat penting: pembaca yang lebih muda.

Kategori ini mencakup anak-anak dan remaja, karena literasi merupakan keterampilan penting bagi pembelajar usia dini dengan sendirinya.

Mereka kemudian akan mengembangkannya untuk mendukung pembelajaran selanjutnya dalam semua aspek kurikulum sekolah.

Sayangnya, tren membaca di kelompok usia ini mengkhawatirkan. Laporan survei dari perpusnas Indonesia tentang kebiasaan membaca anak-anak menunjukkan bahwa tingkat membaca harian dan keterlibatan membaca menurun.

Karena ‘cerita’ berpindah dari halaman buku ke game berbasis aplikasi. Parahnya banyak orang tua merasa bahwa lebih mudah dan lebih praktis untuk meletakkan iPad daripada buku di depan anak-anak mereka saat bepergian atau beristirahat.

Pikiran anak-anak bergerak cepat, buku bergerak lambat. Hasilnya adalah bahwa rentang perhatian anak-anak akan menjadi lebih pendek.

Sebagai efek dari pengalaman multi-indera yang tidak dapat diberikan oleh buku-buku yang lebih membutuhkan perhatian serius.

Untuk mengatasi masalah ini, langkah radikal akhirnya diambil untuk membawa buku kepada anak-anak.

Bukan sebuah kebalika ironis yang kerapkali orang tua lakukan, yaitu melalui pengenalan teknologi ke dalam membaca.

Beberapa perusahaan teknologi sedang mempersiapkan penggunaan augmented reality dalam versi digital buku anak-anak.

Membuat bentuk dan karakter menjadi ‘hidup’ pada halaman untuk menjaga perhatian tetap fokus pada cerita yang ada.

Yang lebih menarik adalah alur cerita dalam sastra anak mulai disesuaikan agar lebih sesuai dengan minat mereka.

Kita mungkin bisa belajar dari bagaiman Inggris meningkatkan minat anak pada membaca.

Stasiun BBC Radio 2 mengadakan tantangan ‘500 kata’ yang meminta pelajar usia sekolah dasar dari seluruh Inggris untuk mengirimkan 500 kata tulisan.

Sangat mengherankan bahwa sebagian besar anak menggunakan tema iklim dan plastik dalam tulisan mereka.

Bukan hanya karena peningkatan frekuensi penggunaannya daripada tahun-tahun sebelumnya tetapi juga karena munculnya konotasi negatif seputar kata tersebut.

Banyak anak, tampaknya, menggunakan 500 kata mereka untuk merancang solusi kreatif untuk krisis iklim.

Kemudian sastra anak-anak secara sadar berevolusi dengan tepat untuk merangkul kesadaran sosial ini.

Sepertinya penerbit Indonesia harus menyediakan pilihan cerita seperti ini dalam buku anak-anak. Tidak hanya penuh dengan dongeng si kancil.

Baca juga : Bisnis TV Tradisional VS Streaming Digital

Penutup

Pada akhirnya, apakah buku-buku saat ini berkembang pesat atau hanya bertahan?

Prospek masa depan untuk buku fisik, dan untuk membaca secara lebih umum, pada gilirannya menggembirakan dan mengkhawatirkan tergantung pada tren yang Anda pelajari.

Namun, seperti yang telah ditunjukkan sejarah kepada kita, ada kegigihan pada buku yang telah bertahan selama berabad-abad.

Memungkinkan buku-buku tebal mempertahankan nilai sosial dan budayanya bahkan ketika revolusi teknologi dan kebangkitan yang pesat dari dunia digital.